Selasa, 22 Juni 2010

Sephia-Raafi's Part

“Raafi!!” teriak Sephia saat melihat sosok Raafi berdiri di tepi pantai. Tatapannya kosong lurus ke depan, memandang gulungan ombak yang menghitam. “Raafi!!” panggil Sephia sekali lagi. Lalu dilihatnya Raafi menoleh ke arahnya, memandangnya dengan kening berkerut.

“Ngapain kamu disini, Phy?” tanya Raafi.

Sephia mengatur nafasnya yang tersengal sehabis berlarian di atas pasir. “Justru itu yang mau Sephy tanyain sama Raafi. Raafi ngapain disini? Kenapa tadi Raafi keluar dari pestanya Tya?”

“Kamu ngapain nyusul aku kesini sih? Disini anginnya dingin, mendingan kamu balik ke pesta itu lagi,”

Sephia menggeleng kuat-kuat. “Nggak mau. Sephy mau disini nemenin Raafi,”

Raafi menarik nafas panjang. “Phy, tolong, bisa gak kamu tinggalin aku? Aku mau sendirian. Aku gak mau diganggu. Please?”

“Kenapa Raafi mau sendirian? Sephy mau kok nemenin Raafi,”

Raafi menghampiri Sephia sambil melepas jasnya. “Mendingan kamu pulang aja. Disini dingin. Aku gak perlu kamu temenin,” ujar Raafi sambil memakaikan jasnya ke pundak Sephia lalu kembali membalikkan badannya menghadap pantai.

Sephia tetap bergeming di tempatnya berdiri. Memandangi punggung Raafi yang tampak rapuh. Dadanya sesak melihat Raafi seperti itu. Ia ingin sekali mengobati luka hati Raafi, menjadi sandaran bagi Raafi, menjadi satu-satunya orang yang ada di samping Raafi. Ia tahu hati Raafi bukan untuknya, tapi ia sama sekali tak ingin pergi dari sisi Raafi, meski setiap saat mengingat hal itu dadanya seperti diremas-remas.

“Kenapa??” tanya Sephia keras-keras, hingga membuat Raafi menoleh. “Kenapa kamu pengen aku pergi dari sisi kamu?? Kenapa kamu nggak ngebiarin aku untuk ada di sisi kamu? Aku tau aku bukan siapa-siapanya kamu, tapi apa gak boleh kalau aku ingin ada di sisi kamu, mencoba untuk sembuhin luka kamu. Aku gak tahan liat kamu kayak gini! Aku gak bisa ngeliat kamu terluka kayak gini. Jadi tolong, tolong jangan usir aku. Aku cuma ingin ada di sisi kamu saat ini. Apa itu terlalu berlebihan??” teriak Sephia. Semua yang ia rasakan, semua yang ia pendam beberapa hari ini tumpah ruah, seiring dengan air matanya yang juga ikut menderas.

Raafi nampak terkejut mendengar pernyataan Sephia yang begitu tiba-tiba itu. Ia mengerutkan keningnya dalam-dalam, berusaha mengartikan apa yang baru saja Sephia katakan padanya.

“Sephy, maksud kamu apa sih? Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu??”

Sephia menyeka air matanya. “Apa kamu gak sadar kalau selama ini ada seseorang yang terus mengejar punggung kamu dari belakang?? Berlari kelelahan di belakang kamu, tapi kamu gak pernah peduli. Gak pernah sekali pun menoleh ke belakang untuk sekedar melihat siapa yang mengejar kamu. Kamu juga gak pernah melambatkan langkah kamu, gak pernah ngasih kesempatan buat aku untuk menjajarkan langkahku dengan kamu.” Air mata Sephia semakin tak bisa dibendungnya. Ia juga tak mampu menahan rentetan kalimat yang terlontar dari hatinya.

“Sephia, kamu...”

“Aku emang gak sesempurna Tya. Aku memang gak bisa diandalkan. Aku memang nyusahin. Aku emang gak akan pernah bisa jadi Tya-mu. Tapi.. tapi..” Sephia menahan isakan tangisnya. “Tapi... aku sayang sama Raafi. Aku cinta Raafi. Aku gak mau pergi dari sisi kamu. Aku ingin selalu ada si sisi kamu meski aku tau hati kamu bukan buat aku. Kamu tahu, kamu tuh adalah orang paling curang di dunia. Dari hari ke hari, aku makin gak bisa tanpa kamu. Sedangkan kamu, selalu bisa tanpa aku. Jadi kalau malam ini kamu juga ngusir aku padahal aku ingin ada disini, aku gak terima!” tangis Sephia semakin kencang.

Raafi terdiam. Kepalanya sibuk mencerna kata-kata Sephia. Matanya kembali menatap horizon laut yang mulai tak kelihatan lagi karena malam semakin larut. Mendengarkan suara ombak yang berlarian perlahan menuju tepi.

“Sephy..” lirih Raafi.

Sephia mengangkat kepalanya.

“Jangan cintai aku.” Suara Raafi hampir tak terdengar.

“Kenapa??!” teriak Sephia.

“Karena mencintai aku adalah suatu kesalahan.”

“Kesalahan?”

“Kesalahannya bukan ada pada diri kamu. Tapi ada di diri aku. Seandainya aku juga bisa cinta kamu. Tapi aku gak bisa Phy. Hati aku udah lama beku, udah mati. Dan gak bisa aku bagi buat yang lain lagi.”

Sephia terisak. “Kenapa kamu gak coba untuk mencintai aku?! Padahal aku bisa memberikan apa yang gak bisa Tya berikan buat kamu!”

“Dari dulu sampai sekarang, hati aku gak pernah berubah Phy. Kalaupun aku berusaha, aku gak akan pernah bisa. Jadi kamu gak perlu memperjuangkan aku, aku gak pantas untuk diperjuangkan. Karena di otak dan di hati aku cuma ada satu nama. DIA.”

“Kenapa kamu begitu egois?? Memangnya kamu gak tau kalo di otakku pun cuma ada kamu. Memangnya kamu gak tau kalau sebenarnya dari dulu pun aku sudah ingin menyerah, berhenti mengejarmu. Sebetulnya aku pun benci pada hati ini karna sama sekali gak bisa ngilangin nama kamu. Aku sudah tak mampu lagi. Tapi, mengingat kamu, menangis karna kamu, terluka karna kamu, melihat kamu.... sudah menjadi kebiasaan bagiku,”

Raafi kembali terdiam. Sementara Sephia jatuh terduduk di atas pasir. Kedua tangannya menutup wajah, bahunya terguncang keras, dan air matanya tak berhenti mengalir.

“Sephy, malam ini aku kacau. Aku sendiri gak bisa nyembuhin luka hati aku. Bukannya aku gak mau kamu ada disini sama aku Phy. Tapi, kalau kamu terus ada di samping aku, mungkin akan membuat kamu semakin terluka. Jadi lebih baik, mulai sekarang kamu berhenti untuk berlari mengejar punggung aku. Karena mungkin, aku gak akan pernah melambatkan langkahku.” Raafi menghela nafas. “Kamu boleh bilang aku jahat, tapi aku hanya gak ingin membuat kamu sakit, membuat kamu menangis.”

Raafi menghampiri Sephia lalu membantu Sephia berdiri. “Phy...”

Sephia mengangkat wajahnya yang memerah dan menatap mata Raafi dengan mata yang sembab.

“Aku pergi ya,” ujar Raafi lirih. Tangannya menghapus air mata yang menetes di pipi Sephia. “Maaf.”

Lalu Raafi berlalu, meninggalkan Sephia yang berdiri mematung di tempatnya berpijak.

"Raafi!!" teriak Sephia.

Raafi tak lagi menoleh ke belakang meski didengarnya isak tangis Sephia. Ia terus melangkah, meninggalkan jejak langkah di atas pasir.

Sephia merasa hancur, patah, remuk. Dunianya runtuh. Ia ambruk lagi ke atas pasir, lalu menangis sekencangnya.


*to be continued*

-Godan High School's Project-
23 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar