Selasa, 02 April 2013

Belajar dari Lulusan SD dan Penjual Nanas



Beberapa waktu yang lalu sepulang kuliah, temen saya, sebut saja namanya Rindu, cerita tentang temen sekelas kita. Temen-temen saya di pascasarjana itu memang datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang sudah jadi dosen di universitas, ada guru SMA, ada yang fresh graduate, ada yang berbisnis, ada yang sudah bekerja di perusahaan Jepang, dan ada juga yang pengangguran (seperti saya, hehehe). Beberapa di antara mereka juga sudah ada yang menikah dan akan segera menikah (yang single juga masih banyak kok. hahaha).

Nah jadi, temen saya itu cerita tentang dua orang temen sekelas kita yang cukup membuat saya tercenung, takjub, dan jadi berkaca pada diri sendiri. Cerita pertama datang dari seorang temen sekelas kita yang sudah menikah. Baru satu tahun setengah menikah, kalau tidak salah, tapi belum dikaruniai anak. Awalnya dia cerita basa-basi soal kehidupan dia, bagaimana dia dapat beasiswa untuk sekolah pascasarjana, dan lain-lain hingga pada cerita tentang suaminya. Setahu saya, suaminya itu adalah seorang pebisnis, aslinya orang Padang, jadi Teh Sinta (nama temen saya yang sedang saya ceritakan. Nama disamarkan) selalu memanggil suaminya dengan panggilan 'uda'. Cerita punya cerita, ternyata suaminya itu pendidikan terakhirnya hanya SD! Bahkan katanya SD pun nggak tamat. 

Saya kaget bukan main. Teh Sinta di kelas itu saya kenal sebagai orang yang pintar, cerdas, dan juga sangat cakap dalam menjelaskan sesuatu, tentang pelajaran, misalnya. Bagaimana tidak, dia adalah seorang dosen sekaligus guru SMA di Bekasi. Sebelumnya dia juga sudah sering ngajar dari satu tempat les ke tempat les lain. Jam terbang ngajarnya bisa dibilang sudah cukup tinggi. Sehingga tidak heran beliau dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di pascasarjana. Tapi ternyata suaminya hanya seseorang yang tingkat pendidikannya jauh lebih rendah daripada dia.

Sewaktu sebelum menikah, dia sempat mendapat banyak tentangan keras dari kedua orang tuanya, mengingat status sosial mereka yang cukup jauh. Padahal sebelumnya Teh Sinta ini sudah akan menikah dengan seorang sarjana lulusan universitas di Australia. Tapi mungkin karena memang bukan jodohnya, mereka tidak diperkenankan menikah dan akhirnya Teh Sinta malah menikah dengan seseorang yang sekarang selalu dipanggilnya 'uda'. Orang tua uda sudah meninggal dua-duanya sejak dia umur 11 tahun dan dia tidak punya sanak saudara lain. Itu sebabnya beliau harus berjuang sendirian sejak usia 11 tahun untuk dapat bertahan hidup. Beliau merantau dan mencari pekerjaan untuk biaya hidup. Hingga beliau sampai di pulau Jawa. Sekarang usaha beliau adalah membuka toko kelontong di depan rumahnya di Bekasi untuk menafkahi dirinya dan istrinya.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban mental yang harus ditanggung oleh keduanya. Gunjingan dari tetangga atau orang-orang terdekat pasti selalu ada. Tapi mereka berdua tidak pernah merasa terbebani, malah tampak selalu ceria dan romantis. Banyak kekaguman yang ingin saya sampaikan pada mereka berdua. Di zaman sekarang yang kebanyakan masyarakat menilai pangkat, jabatan, pendidikan, dan status sosial sebagai sebuah patokan sebuah keberhasilan atau kesuksesan, mereka berdua membuktikan bahwa sebenarnya hal seperti itu sama sekali tidak penting. Mereka berdua tetap bisa hidup berdampingan dan bahagia meskipun dengan status sosial yang berbeda. Bahkan katanya, Teh Sinta sering mengajarkan hal-hal sederhana tentang cara operasional TV misalnya, apa itu kuliah, kepada suaminya dengan begitu sabar. Saya melihatnya sebagai hal yang lucu dan romantis.

Lalu teman saya menceritakan kisah yang kedua. Cerita ini datang dari teman sekelas kita yang baru, namanya Judika. Kesan pertama saya terhadap laki-laki ini sebenernya kurang begitu bagus. Kenapa? Karena kalau datang ke kelas dia selalu terlihat mengantuk dan dengan penampilan kusam, bahkan terkadang dia terang-terangan tidur di kelas. Tapi semakin hari saya semakin tahu kalau ternyata dia itu cerdas dan juga kritis. Meski terkesan seperti tidak memperhatikan isi kuliah, ternyata dia selalu menyimak apa yang disampaikan oleh dosen di kelas. Dia juga supel dan senang bercanda kalau kita mau mengenalnya lebih dekat.

Awalnya Judika ngobrol sama Rindu soal kapan Rindu datang ke Bandung setiap minggunya. Rindu bilang dia selalu datang setiap Rabu malam sekitar jam 8 (jadwal kuliah di pascasarjana hanya dari hari Kamis-Sabtu). Jadi setelah habis mengajar di Bekasi, Rindu langsung berangkat ke Bandung sore harinya. Rindu nanya balik kan sama Judika setiap kapan dia datang ke Bandung, dan Judika bilang dia selalu datang ke Bandung Rabu tengah malam, atau kadang sudah masuk Kamis dini hari, karena dia harus kerja dulu. Setelah nanya-nanya lebih lanjut tentang pekerjaan Judika, ternyata Judika itu punya usaha sendiri. Usaha apa? Jualan nanas di pasar induk.

Saya kaget. Jualan nanas? Iya, nanas. Dia bilang orangtuanya sudah tua dan tidak bekerja, jadi dia yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga dengan berjualan nanas di pasar induk. Makanya dia selalu datang tengah malam ke Bandung karna katanya nunggu dagangan habis. Tapi kalau hari-hari biasa seperti sekarang, penjualan nanas memang nggak terlalu bagus. Paling banyak ya cuma dapat 500 ribu - 1 juta, itu pun harus dipakai untuk modal lagi dan biaya sewa jongko di pasar. Kalau menjelang lebaran, nah baru penjualan nanas meningkat, bahkan omzetnya bisa sampai 50 juta, begitu ceritanya.

Jadi ternyata itu alasannya kenapa dia selalu terlihat mengantuk di kelas, terlihat malas-malasan, bahkan penampilannya terkesan kusam. Karena dia ternyata habis menjaga jongko nanas di pasar.

Subhanallah..
Cuma itu satu-satunya kata yang keluar dari mulut saya waktu mendengar cerita itu. Di zaman sekarang ini, dimana kebanyakan orang mendambakan pekerjaan yang ideal, kerja kantoran dengan gaji tinggi, dia bisa merasa cukup hanya dengan berjualan nanas. Dan yang membuat saya lebih kagum lagi, dia membiayai sendiri biaya kuliah pascasarjana. Meski dengan segala keterbatasan, dia tetap punya semangat untuk melanjutkan kuliah hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Teman saya itu membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk memperoleh pendidikan, tidak ada hambatan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi, asal kita mau berusaha.


Saya, yang biaya hidup dan biaya kuliah masih dibiayai oleh orang tua jadi merasa malu sendiri. Ternyata di dekat saya, banyak orang-orang hebat seperti mereka. Memang dalam hidup itu kita jangan selalu melihat ke atas. Capek.
Banyak orang-orang hebat kalau kita mau menundukkan kepala dan mendengar cerita mereka.
Di luar sana, di kelas-kelas lain di gedung pascasarjana ini, saya yakin masih banyak orang hebat selain dari kedua orang teman saya di kelas ini.

Terima kasih untuk pelajaran hidup hari ini.

-2 April 2013-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar