Intan Eka Wulandari
Mahasiswa Pascasarjana UPI, Jurusan Pendidikan
Bahasa Jepang
Membaca artikel yang ditulis oleh A Chaedar Alwasilah,
seorang Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tentang SD di
Inggris, membuka pikiran saya tentang bagaimana jauh berbedanya kondisi SD di
Inggris dan SD di Indonesia. Dalam artikel yang dimuat dalam harian Pikiran
Rakyat pada hari Selasa 16 Oktober 2012 tersebut beliau mengungkapkan bahwa
sistem pengajaran yang dilakukan di tingkat sekolah dasar di Inggris sangat
jauh berbeda dengan sistem pengajaran di Indonesia.
Murid sekolah dasar di Inggris tidak menggunakan buku teks
dalam pembelajaran. Mereka hanya diberikan PR dalam 2-3 halaman untuk
dikerjakan dengan bantuan orangtua. Tidak pernah ada PR yang dikerjakan di buku
teks. Mereka mencari wawasan dan informasi sebebas-bebasnya sesuai dengan minat
dan bakat mereka masing-masing melalui pusparagam buku yang disediakan di
perpustakaan sekolah berupa buku sastra anak, biografi para tokoh dunia, cerita
petualangan, kamus bergambar, ensiklopedia, dan sebagainya. Murid ditugasi
membaca sebanyak mungkin sesuai dengan minatnya kemudian melaporkannya dalam
bentuk tulisan, atau melaporkannya secara lisan di dalam kelas. Di dinding dan
meja murid di setiap kelas terpajang buku-buku bacaan, portofolio, hasil
penelitian murid yang dipamerkan sebagai bukti kerja mereka.
Untuk melatih motorik, harmoni, gerak, dan kreativitas
nada, terdapat mata pelajaran menari dan musik yang diselenggarakan lintas
kelas pada jam tertentu di aula besar yang dapat menampung 200-500 orang. Mata pelajaran
yang termasuk dalam foundation curiculum ini
dibimbing oleh seorang guru tari profesional.
Melihat fakta-fakta di atas, secara otomatis saya langsung
membandingkan dengan kondisi sekolah dasar di Indonesia. Seorang guru SD di
Indonesia rata-rata menjadi guru untuk seluruh mata pelajaran yang diajarkan di
SD, sehingga tidak terfokus pada satu mata pelajaran saja. Selain itu,
banyaknya jumlah murid di dalam kelas, yang bahkan mencapai 50 orang lebih di dalam
satu kelas, menyebabkan guru terkadang tidak efektif dalam menyampaikan
pelajaran. Kondisi ini juga menyebabkan guru tidak dapat mengontrol seluruh
siswanya dengan maksimal, sehingga tidak jarang murid-murid gaduh, bahkan
berkelahi di dalam kelas. Selain itu pula, kondisi kelas-kelas SD di Indonesia
tidak layak. Dinding kelas yang retak-retak, atap bocor, tidak memiliki pintu
ataupun jendela, bahkan terdapat kelas yang hanya berdinding bilik atau kayu
dan beratap seng.
Melihat kondisi kelas di Indonesia yang seperti itu,
rasanya begitu jauh bila dibandingkan dengan SD di Inggris. Dengan fasilitas
pendidikan yang masih serba terbatas di sekolah-sekolah di Indonesia, rasanya
sulit untuk menyamai kualitas SD-SD di Inggris. Saat ini memang sudah banyak
sekolah-sekolah di kota besar yang sudah dilengkapi dengan fasilitas lengkap. Para
siswa dapat mengakses informasi seluas-luasnya melalui fasilitas yang
disediakan. Namun kenyataannya, di pelosok-pelosok negeri, masih banyak sekolah
yang kondisinya tidak layak. Padahal banyak anak-anak Indonesia di pelosok yang
masih haus pendidikan tetapi tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak
karena kurangnya fasilitas.
Saya teringat sebuah percakapan singkat dengan seorang
kerabat yang tinggal di daerah pedesaan beberapa bulan yang lalu. Saya menceritakan
tentang bagaimana hebat dan majunya sekolah di kota, yang lengkap dengan
fasilitas komputer dan internet, pengajaran dengan menggunakan bahasa Inggris,
dan berbagai keunggulan lainnya. Beliau hanya mendengarkan saya dengan takjub,
lalu sebaris komentar singkatnya membuat saya tertegun, “Ah, sekolah seperti
itu kan hanya untuk orang kaya saja. Bagi kami yang tinggal di kampung, bisa
sekolah saja sudah untung,” komentarnya dalam bahasa Sunda, sambil
tersenyum-senyum. Saya jadi tidak bisa berkata-kata lagi, miris. Saya berpikir
bahwa ternyata pendidikan di negara ini masih dianggap sebagai sesuatu yang
mahal, padahal semua orang berhak mendapatkan pendidikan.
![]() |
Buku Indonesia Mengajar |
Baru-baru ini saya membaca sebuah buku yang berjudul “Indonesia
Mengajar” yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Buku tersebut memuat kisah para pengajar muda yang
mengajar di pelosok-pelosok negeri hingga ke pedalaman. Buku ini membuka
pikiran saya bahwa ternyata memang masih banyak sekali anak-anak Indonesia yang
haus akan pendidikan. Dengan segala keterbatasan mereka, dengan minimnya
fasilitas belajar yang mereka miliki, mereka begitu bersemangat dalam mencari
ilmu. Bahkan mungkin, semangat belajar mereka lebih besar daripada anak-anak
yang tinggal di kota-kota besar dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas.
Lewat cerita-cerita para pengajar muda itu tentang anak-anak
negeri yang semangat belajar dengan segala kekurangan mereka, saya sekarang meyakini
satu hal, bahwa pendidikan di Indonesia dapat lebih maju, semaju pendidikan di
Inggris, bahkan mungkin lebih maju. Tinggal kita mulai dari diri kita sendiri,
meyakini bahwa kita dapat memajukan pendidikan di Indonesia lewat semangat
anak-anak bangsa yang ingin belajar. Termasuk saya, memulai dari diri saya
sendiri.
12 Februari 2012
@ Gd. Pascasarjana UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar