Kamis, 30 November 2017

Meet the Doctor

Holaaaa! Ini sudah tahun 2017.
Seperti tahun-tahun sebelumnya ke belakang, saya tersadar kalau saya menulis di blog ini cuma sekali dalam setahun. Karena ternyata postingan terakhir saya memang sudah setahun yang lalu. Kebiasaan buruk! Hahaha.

Jadiii, di postingan terakhir itu tercatat kalau saya baru saja bertunangan dengan (mantan) pacar yang pacarannya baru berjalan kurang dari 3 bulan saja waktu ini. Daaan, bulan ini, saya dan suami sudah masuk ke usia pernikahan ke 7. Bulan loh yaaa, belum tahun. Hehehe. Masih sangat mudaaa usia pernikahannya, masih anget-angetnya kalo kata orang-orang sih masih rasa bulan madu. Meskipun yaaa tipikal awal-awal pernikahan, semua yang sudah menikah pasti pernah merasakannya; sedih karena harus pisah dengan keluarga yang selama belasan bahkan puluhan tahun hidup bersama, banyak hal bertentangan yang akhirnya memicu pertengkaran kecil, dan bumbu-bumbu lain di masa-masa awal pernikahan. Omelan, ngedumel, unek-unek, kesel, gemes, geregetan, daaaan lain lain sering banget muncul. Tapi, sejauh ini saya menikmatinya.

Oke, saya sekarang mau cerita tentang perjalanan pernikahan saya yang baru seumur jagung (lebih sedikit) (note: umur jagung rata-rata 135 hari) ini. Jadi, dalam 7 bulan perjalanan pernikahan saya ini, saya masih mengalami menstruasi dengan lancar. Loh? Terus?
Yak, itu artinya, saya belum mendapatkan "isi" yang selalu orang-orang tanyakan itu sama saya. Jujur aja, pertanyaan sesederhana "udah isi belum?" itu menjadi pertanyaan paling menyebalkan bagi saya. Saya tahu mereka peduli, mereka ingin mendengar kabar bahagia dari saya dan suami, meskipun banyak juga yang cuma sekedar kepo dan basa-basi. Tapi pertanyaan sesederhana itu sungguh melukai perasaan saya. Toh, bukan saya kan yang menentukan kapan saya bisa ber"isi". Sesungguhnya ada yang lebih berkuasa daripada saya untuk menentukan kapan saya bisa menjawab seluruh pertanyaan itu. Pada waktu saya menjawab "belum," sambil tersenyum simpul, ada yang menimpali dengan kata-kata "aduh kasian.." Rasanya hati saya nyuuuuttt banget. Sakit. Memangnya saya kenapa sampai harus dikasihani?

Saya baru menginjak usia pernikahan ke-7 bulan, tapi rasanya saya depresi sekali setiap kali mendengar pertanyaan serupa seperti itu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kuatnya para pasangan lain yang bertahun-tahun diuji oleh Allah belum diberikan keturunan tapi tetap bisa tersenyum menghadapi ribuan pertanyaan serupa, mungkin sudah banyak juga omongan negative terlontar dari orang-orang, tapi tetap berpositive thinking pada Yang Berkuasa. Apalah saya yang baru saja menjalani bulan ke-7 pernikahan tapi sudah sangat stress dengan pertanyaan seperti itu.

Belakangan ini, saya jadi terbiasa menghindar dari postingan teman-teman saya di social media yang memposting tentang cerita kehamilan mereka. Daripada saya merasa iri dan akhirnya malah menjadi suudzon sama Allah, lebih baik saya menghindarinya. Mungkin, Allah memang belum berkehendak saja untuk menitipkan salah satu makhlukNya ke keluarga kecil kami.

Ada yang pernah bilang, ada baiknya jodoh itu dijemput. Begitu pun soal "berjodoh" dengan calon anak yang akan lahir di keluarga kita. Salah satu cara menjemput "jodoh" itu tentu saja dengan ikhtiar.

Bulan Februari lalu adalah kali ke-3 saya menemui dokter obgyn. Bukan untuk memeriksa kandungan, tapi untuk memeriksa sinyal-sinyal "php" yang sering saya rasakan sejak bulan pertama menikah sampai sekarang. Sebulan setelah saya menikah, saya dan suami bulan madu ke Bali. Saat itulah php pertama saya rasakan. Perut bagian bawah saya terasa kram seperti sedang haid hingga 2 minggu setelah kami pulang dari Bali. Penasaran karena sakitnya tidak kunjung reda, saya menemui dokter obgyn untuk memeriksanya. Sempat geer sekali, sumringah berharap kehamilan, tapi ternyata harus menelan pil pahit kecewa karena hasil usg menunjukkan bahwa rahim saya masih kosong.

Bulan dan bulan berikutnya, setiap menjelang haid saya selalu merasakan yang sama. Kram perut di bagian bawah, mual muntah, pusing, badan ngedrop which is kalau temen saya bilang, tanda-tanda orang hamil banget. Tapi lagi-lagi saya harus merasa sedih karena pada waktu melakukan test pack garisnya masih menunjukkan satu. Lemes. Sementara teman-teman saya yang lain dengan senangnya mengupload foto testpack 2 garis mereka di socmed, saya lagi-lagi harus membuang testpack 1 garis saya ke tempat sampah. Sedih. Awal-awal sedih banget, bahkan setiap kali datang haid pasti saya langsung menangis sambil meluk suami. Lama-lama akhirnya jadi sudah "agak" terbiasa dengan gejala-gejala sama yang saya alami. Meskipun tetep aja dalam hati terbesit, "please, not this php things again..." karena ternyata lelah merasa php itu. Php muncul karena saya yang berharap terlalu tinggi. :( Hingga besitan-besitan hati yang berharap, "semoga yang kali ini beneran hamil.." meskipun akhirnya harus kecewa lagi karena si mens datang lagi.

Tapi, usaha insyaallah tidak akan pernah putus. Setelah menemui dua dokter obgyn yang berbeda dan berkonsultasi tentang program kehamilan, bulan lalu untuk ketiga kalinya saya bertemu dengan dokter lain yang direkomendasikan oleh teman saya yang juga pada awalnya cukup lama "kosong" sampai pada akhirnya hamil. Saya mendatangi seorang dokter obgyn yang cukup populer di Bandung yaitu dr. Maximus Mujur. Hasil dari konsultasi itu juga, dokter cuma bilang bahwa saya sehat, baik-baik saja, hanya perlu perbaikan pola makan supaya bisa segera lekas hamil. Pulang dari sana, saya sama suami cuma diminta untuk "semakin mencintai satu sama lain", biar katanya pas lagi "memadu kasih" itu sama-sama menikmati, selain itu kita juga diminta untuk bisa lebih mencintai Tuhan kita. Karena Tuhan-lah yang nantinya akan meniupkan ruh ke dalam rahim saya, jadi untuk itu dekati Tuhan pemegang ruh, supaya kita juga bisa dapet kesempatan untuk dipercaya jadi orangtua.

Setelah denger apa kata dokter, dan saya melihat ke belakang, ternyata memang pola hidup saya sama sekali belum teratur, dan semua yang dokter bilang itu seolah menampar saya. Tapi nyatanya setelah sebulan-dua bulan- konsultasi dengan dokter Maximus, saya masih belum bisa maksimal menjalankan semua nasihat-nasihat medisnya. Bulan berikutnya dan bulan berikutnya lagi, saya berusaha untuk buat janji dengan dokter Maximus tapi selalu gak berjodoh, karena dokternya selalu pas gak praktek pas saya datang ke rumah sakit. Sampai rasanya lelah, apa memang belum saatnya untuk lanjut promil ya?

Sampai tulisan ini ditulis, saya masih bingung. Harus dengan cara apa lagi saya coba promil?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar