Minggu, 14 Juli 2013

Menyenandungkan Rindu

FIKSI


Apa kabar?

Hufft. Kedua kata itu kembali menari-nari di kepalaku.
Mengapa sebaris kalimat itu bisa mempengaruhiku sampai
seperti ini? Aku menarik nafas panjang, mencoba
menenangkan debaran hati yang tak bisa tenang tiap kali
kata-kata itu terngiang di telingaku. Kupegangi kedua sisi
cangkir cappucinoku, mencoba mengalirkan kehangatan pada
tubuhku yang entah mengapa tiba-tiba menggigil
kedinginan. Aku menghisap cappucinoku dalam-dalam, lalu
cairan hangat mulai mengalir melintasi tenggorokanku
menuju dada. Ahh, hangat.

Di luar masih hujan. Tetesan air hujan memerciki jendela
tempat aku memandang lurus menembus hujan. Lalu tanpa
diminta, memori di kepalaku berputar cepat seperti film
yang sedang di-rewind . Tempat ini, selalu saja menjadi
tempat yang tak pernah bisa aku lupakan. Sekeras apapun
aku berusaha untuk menjadikan tempat ini sebagai bagian
dari masa lalu, namun pada akhirnya usahaku itu hanya
akan membawaku kembali ke tempat ini, mencoba untuk
memunguti kepingan-kepingan kenangan yang mungkin
masih bisa aku kenang. Terkadang hanya dengan mengenang,
aku bisa kembali menghadapi dunia lagi, memberi sedikit
kekuatan meski untuk itu aku harus membuka-buka lagi
luka lama.

Tapi kali ini, keputusanku untuk kembali kesini nampaknya
adalah keputusan yang salah. Karena sejak 3 jam lalu aku
duduk disini, hatiku tak kunjung membaik. Luka lama yang
biasanya cepat menutup kembali, kali ini malah menganga
makin lebar. Seharusnya aku tidak kesini hari ini, terutama
setelah adanya kejadian seminggu lalu itu. Tapi lagi-lagi
aku tak bisa menahan langkahku untuk tidak kembali kesini.
Tetes terakhir cappucino di gelasku sudah mengering. Aku
menatap jendela, rasanya ingin menangis. Tapi mungkin air
mataku sudah mengering seperti kopi dalam cangkirku itu,
karena sejak tadi mataku tak kunjung mengucurkan air
mata padahal hatiku ngilu sekali dan sepertinya hanya bisa
sembuh bila aku mengalirkannya lewat air mata.

“Maaf mas, bisa minta cappucinonya lagi?” tanyaku pelan
saat seorang waitress melintasi mejaku.
Waitress itu menatapku agak heran. “Maaf mbak, tapi
mbak sudah menghabiskan 4 cangkir cappucino sejak tadi,”
ujarnya.
Aku mengangkat alis. “Lalu?”
“Maaf mbak, saya tidak bermaksud lancang, tapi saya
perhatikan mbak belum makan apa-apa sejak tadi. Jadi
saya sarankan mbak jangan minum kopi lagi. Saya khawatir
lambung mbak akan terganggu,”
Aku menghela nafas. Aku ingin mendebat waitress itu tapi
aku tak punya cukup tenaga. “Kalau begitu saya pesan air
putih saja,”
“Baik, mbak. Bagaimana kalau saya bawakan juga cake atau
puding?”
“Nggak usah mas, makasih.”
“Baik mbak akan segera saya bawakan air putih.” Waitress
itu menganggukkan kepalanya lalu kembali meninggalkanku
sendirian.

Hujan di luar masih belum berhenti juga, malah semakin
deras. Angin dingin menyergap masuk melalui kisi-kisi
jendela di sampingku. Biasanya di saat-saat seperti ini ada
tangan-tangan hangat menggosok punggung tanganku, atau
mendekapku mendekat untuk mengalirkan kehangatan. Ahh,
seperti biasa aku selalu tak bisa mencegah memori-memori
itu merasuki kepalaku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku,
mencoba menepisnya. Namun semakin aku mencoba,
semakin bayangan-bayangan itu memenuhi kepalaku.
Aku tak akan pernah bisa melupakan suaranya. Bahkan
setelah setahun kepergiannya, aku masih bisa mengingat
jelas caranya memanggil namaku, atau saat mengucapkan
kata-kata yang bisa membuat hatiku melambung. Aku sudah
hampir bisa melupakannya, ingin memulai hidup yang baru
karena akhirnya aku sadar bahwa aku telah menyia-
nyiakan setahun hidupku hanya untuk meratapi
kepergiannya. Aku sudah benar-benar melupakannya
seminggu yang lalu, sebelum akhirnya panggilan itu datang.
Sebuah telepon dari nomor tak dikenal masuk ke
handphone ku. Aku mengangkatnya, dan ketika mendengar
suara sapaan dari seberang, aku tahu bahwa ternyata aku
belum benar-benar bisa melupakannya.

“Apa kabar?”
Aku menahan nafas ketika mendengar suaranya. “Abi?”
“Iya Nanda. Ini aku, Abi.”
Mataku memanas. Bahkan setalah 1 tahun, suaranya sama
sekali tidak berubah. Suara yang teramat sangat aku
rindukan.
“Aku harus bicara sama kamu, Nan. Kita harus ketemu.
Kamu mau kan?”
Aku terdiam. Lalu tanpa pikir panjang aku langsung
menutup telepon, kemudian memandangi handphone ku
dengan mata berair dan tangan gemetar. Lalu selama hari-
hari berikutnya aku selalu mengabaikan semua panggilan
darinya, menghapus semua sms masuk darinya tanpa
membacanya, dan akhirnya mulai berani membuang satu
persatu benda kenangan darinya agar tak lagi bisa
mengingat dirinya. Karena seharusnya ia tidak datang lagi.
Seharusnya ia sudah hilang ditelan waktu. Kenapa kali ini
dia harus kembali lagi? Padahal aku sudah berhasil menutup
rapat-rapat luka lamaku. Kenapa dia harus kembali lagi di
saat aku sudah bisa mengenyahkan semua bayang-
bayangnya?

Aku menarik nafas panjang. Mencoba menghilangkan sesak
yang kembali menghimpit dada.
“Permisi, mbak. Ini air putihnya.”
Suara seorang waitress mengembalikanku lagi dari lamunan.
“Oh iya mas, makasih.” ujarku tanpa menoleh.
“Ternyata masih belum berubah, ya. Tempat duduk yang
sama, jendela yang sama, cappucino yang sama..”

Aku mengangkat kepalaku dengan cepat. Lalu menemukannya
di sana, dengan senyum yang sama sama sekali belum
berubah, masih sehangat dulu.
“Apa kabar, Nan?”
Sesaat tadi aku tidak menyadari suaranya, tapi ketika
suaranya kembali menggaungi telingaku, aku sadar bahwa
ini bukan mimpi.
Ia duduk di hadapanku setelah meletakkan air putih di
meja, kemudian menatapku.
“Seharusnya aku tau kemana harus nyari kamu, Nan. Aku
sama sekali gak berpikir kalo kamu bakal kembali ke
tempat ini. Aku pikir kamu pasti gak akan kembali kesini
karena dulu kamu pernah bilang kalau kamu ingin melupakan
segala sesuatu tentang aku. Tapi ternyata aku salah.
Karena ternyata semuanya masih belum berubah. Tempat
ini masih menjadi tempat dimana aku bisa menemukan
kamu.” Senyumnya mengembang. Lalu matanya berkeliling
memandang setiap sudut kafe itu dengan pandangan penuh
kenangan.

Aku menutup mata, merasakan ngilu merayapi sudut-sudut
hatiku. Aku memang tak seharusnya ada disini. Aku harus
pergi, karena kalau tidak, aku mungkin tidak akan pernah
bisa melepaskannya lagi.
Aku membereskan barang-barangku secepat mungkin,
memasukkannya asal saja ke dalam tasku, lalu bangkit
berdiri.

“Nanda!” Abi menahan tanganku. “Tolong jangan
ngehindarin aku terus. Aku harus bicara sama kamu, Nan.”
Aku menepis tangannya. “Aku nggak tau apa yang ngebawa
kamu kesini lagi. Tapi yang jelas aku udah gak punya urusan
lagi sama kamu. Jadi maaf, aku harus pergi.”
“Nanda, tunggu!”
Aku bergegas menuju kasir untuk membayar semua
pesananku tanpa menghiraukan jumlahnya lalu setengah
berlari menuju pintu keluar.
Air mataku nyaris tumpah. Melihatnya lagi membuatku
semakin goyah.

Saat aku mencoba berlari menerobos hujan, Abi berhasil
menangkap tanganku. Ia menarikku menghadapnya.
“Nanda,” Abi menghela nafasnya yang agak tersengal.
“Lepasin tangan aku, Bi.”
Abi menguatkan pegangan tangannya di lenganku. “Kamu
gak tau kan gimana frustasinya aku seminggu ini? Tolong
dengerin aku kali ini aja, Nan. Tolong jangan ngehindar
lagi,”
“Lepas!” Aku memberontak.
Abi menarik tanganku yang satunya. “Nanda... aku kangen
sama kamu,”
Aku menatap matanya, lalu menemukan sesuatu yang dulu
selalu kutemukan setiap kali ia mengatakan bahwa ia
mencintaiku.

“Aku kangen kamu, Nan.”

Air mataku tiba-tiba menetes.
Aku juga kangen kamu, Bi.